Senin, 12 Januari 2015

Tentang Gie

Moners didirikan oleh Master Simon. Tapi Moners Khasoes BUKAN milik Master Simon.
Khasoes dibangun oleh Sbm Nim Sahrul. Tapi Khasoes BUKAN milik Sbm Nim Sahrul.
Khasoes pun BUKAN milik Sbm Okie.
Kami sudah tua. Kini, kami amanahkan pada kalian.

KHASOES adalah milik PEMUDA!
Kepada KALIAN, kami berharap!



Semoga, kisah Gie berikut, dapat memberikan inspirasi bagi kalian.

(sumber: http://www.andriewongso.com/articles/details/14204/Tentang-Gie)

“Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.”

Itulah sepenggal rangkaian kalimat Soe Hok Gie. Ia pemuda keturunan Tionghoa, yang berperan serta menjadikan Indonesia berada dalam pembabakan sejarah. Jakarta, menjadi awal kisahnya. Tepat pada 17 Desember 1942, hari kelahirannya. Gie, begitu biasa dia dipanggil, menjelma sebagai bocah yang penuh dengan pemikiran kritis. Anak keempat dari lima bersaudara ini, memang sangat pendiam. Dari kecil, buku dan catatan tulisannya yang menemani harinya.

Ketika duduk di bangku menengah pertama (SMP), Gie sempat mengkritik gurunya, hingga memancing kemarahan sang guru. Alhasil nilai Gie pun dikurangi. Karakternya yang keras dan penuh pemikiran, membuat kemampuannya dalam mengemukakan pendapat semakin terasa. Saat beranjak remaja hatinya tersentak, melihat pengemis yang memakan kulit buah mangga. Padahal tak jauh dari tempat sang pengemis, terdapat bangunan besar tempat paduka dan istrinya tertawa riang.

Pernah suatu ketika, pemerintah mengharuskan pergantian nama bagi para suku non pribumi. Gie bersikukuh tidak mau mengganti namanya. “Apalah arti sebuah nama?” ucap Gie kepada kakaknya Arif Budiman (Soe Hok Djin) yang membujuknya. Gie pun selalu mengatakan hanya ingin menjadi orang bebas yang idealis.

Setelah melewati pendidikan SMA di Kanisius. Gie melanjutkan sekolah tingginya, di Universitas Indonesia, Fakultas Sastra-Jurusan Sejarah. Di “kolam kuning” inilah, Gie bersama teman-temannya berada pada gardu terdepan untuk menggulingkan kekuasaan yang tidak berpihak kepada rakyat. Salah satunya ketika meletus demonstrasi besar di Jakarta tahun 1966, yang dikenal sebagai Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat).

Serangannya terhadap pemerintahan saat itu terus bergemuruh. Gie dikenal sebagai aktivis yang paling berprinsip. Karena hanya Gie-lah, yang bertahan terhadap penawaran kekuasaan oleh pemerintah untuk para aktivis. Jiwanya yang tak pernah tenang, membuat Gie merasa berada di simpang jalan, tanpa teman.

Kecintaan untuk menulis, tak terlepas dari sebuah kamar tidurnya yang remang dengan kumpulan nyamuk—selalu memberinya inspirasi di setiap malam untuk mengetik segala kegelisahannya. Tulisan Gie tajam, menggigit, sinis, dan terus terang. Menjadikan karyanya dikenal—mulai dari puisi, sajak, artikelnya di surat kabar, bahkan skripsinya. Semua menjadi daya tarik bagi para peneliti dan para pejuang integritas.

Dan hanya kecintaannya terhadap alamlah yang mengobati kepenatannya pemikirannya akan pemerintahan saat itu. Gie bergabung dengan Mapala-UI, dan telah mendaki berbagai gunung di Indonesia. Bercengkrama dengan alam, membuat Gie lebih nyaman. “Kehidupan baru yang lebih menarik, dengan kebesaran manusia yang lebih mulia,” demikian harapan Gie di puncak-puncak pendakian.

Tempat Peristirahatan Terakhir

Indah dan mencekam, dengan ketinggian 3.676 meter. Semeru dijuluki sebagai gunung tertinggi di pulau Jawa, dan tertinggi ketiga di Indonesia. Gunung yang berlokasi di Jawa Timur inilah yang terpilih sebagai tempat peristirahatan terakhir Gie. Tepat sehari sebelum hari jadinya, yakni 16 Desember 1969, di usia yang masih sangat muda, 27 tahun kurang satu hari. Gie meninggal dunia, di puncak Gunung Semeru bersama Idhan Lubis kawannya, karena terlalu banyak menghirup belerang yang beracun.

Gie merupakan aktivis, dosen, dan tokoh muda inspiratif. Setelah sepeninggalnya, Gie hanya mewariskan catatannya. Skripsi strata satunya yang berjudul “Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan” (tentang pemberontakan PKI Madiun), telah dijadikan buku oleh Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, pada 1997. Film mengenai Gie pun telah dirilis dengan Nicholas Saputra sebagai tokoh utamanya. Berbagai buku tentang Gie juga ditulis oleh masing-masing sahabatnya.

Begitu besar apresiasi masyrakat terhadap sosok sederhana Gie. Jiwa yang idealis, menjadi nuansa baru di tengah kemunafikan. Karena kenangan tentang Gie hanya pada alam pikiran saja, makamnya pun telah digusur di daerah Tanah Abang-Jakarta. Andai Gie masih hidup hingga saat ini, apa yang akan dia lakukan ?


“Seorang filsuf Yunani pernah menulis, ‘Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua terlahir tetapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua’. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” (Soe Hok Gie; 1962—7 tahun sebelum kematiannya).