Oleh : Ubaydillah, AN
Padahal, fakta sering menunjukkan kalau mereka sendiri masih tergantung sama orangtua. Kelemahan ini sering digunakan senjata oleh sebagian orangtua untuk bernegosiasi. "Giliran minta duit kamu ke ayah, tetapi setiap kali ayah ngasih nasehat, tak pernah kamu dengarkan. Jadi gimana sekarang? Kamu yang mengingkuti ayah atau ayah yang mengikuti kamu?"Suatu hari, kawan saya yang dari Aceh dikirim Jakarta untuk mengikuti pelatihan tentang penanggulangan anak-anak yang terkena bencana. Karena sudah lama tidak jumpa, saya ajak dia mampir ke rumah. Di tengah jalan, kawan ini melihat beberapa remaja membawa gitar, berpakaian hitam-hitam, dengan aksesoris dari besi yang menempel di sekujur tubuhnya, rambutnya gondrong dan dandanannya menakutkan.
- Dia mulai berteman dengan salah seorang anggota geng tertentu dan makin lama makin akrab.
- Dia mulai terobsesi untuk memiliki pakaian dengan warna tertentu dan model tertentu yang merepresentasikan simbol geng tertentu.
- Dia menggunakan aksesoris dengan desain khusus untuk menciptakan image tertentu atau yang berkaitan dengan gengnya.
- Dia sudah terobsesi untuk mendengarkan musik, menonton film, atau menempel poster beberapa figur yang menjadi tokoh rujukan gengnya.
- Dia mulai kurang akrab dengan keluarga atau menunjukkan pemberontakan terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam keluarga. Mulai menunjukkan rasa tidak betah di rumah. Kalau keluarga punya acara di luar kota atau di luar rumah, dia menunjukkan tanda-tanda lebih senang ditinggal.
- Dia menunjukkan kebutuhan yang berlebihan untuk memiliki privasi di rumah, misalnya hapenya disimpan di tempat yang tidak diketahui orangtua, kamarnya dikunci di lantai atas, dan seterusnya.
- Dia mulai menggunakan bahasa--bahasa isyarat ketika berkomunikasi dengan temannya atau menggunakan istilah yang hanya bisa dipahami oleh limited people.
- Dia mulai suka minta uang yang di luar budget resmi dengan alasan-alasan yang didesain secanggih mungkin, misalnya untuk membayar ujian susulan, untuk membeli buku anu, dan lain-lain. Kalau ibunya kurang percaya, dia bisa minta bantuan ke temannya untuk membangkitkan trust sang ibu.
- Dia secara hati-hati menggunakan uang itu untuk membeli pakaian atau aksesoris tertentu. Kalau tidak disimpan di rumah temannya yang kost, pakaian itu biasanya disembunyikan di tempat yang bagus.
- Punya agenda di luar yang tidak jelas dan tidak mau / merasa keberatan diintai, dibuntuti, atau diketahui orang tua
Dari banyak kasus, anak-anak yang lari ke geng, terutama geng yang negatif itu, umumnya punya riwayat hubungan yang kurang harmonis dengan keluarga. Kurang harmonis di sini pengertiannya adalah: antara ada ketegangan (konflik) atau tidak adanya mutual-care (saling memperhatikan) sebagai bukti adanya ketidakdekatan emosional, spiritual, atau intelektual.
Beberapa pendekatan
Kalau kita iseng bertanya ke orang dewasa yang ada di sebelah kanan-kiri kita, mungkin hanya sedikit yang tidak pernah mbadung waktu masih muda. Yang berbeda adalah kadarnya dan tingkat bahaya yang ditimbulkannya. Begitu juga dengan anak kita saat ini. Satu sisi terkadang ada kewajaran kalau anak remaja atau pemuda itu harus "lain" atau ngetren sebagai konsekuensi dari eksplorasi-diri. Tetapi, pasti kita punya harapan agar jangan sampai anak kita itu terbawa arus geng terlalu jauh. Untuk mengantisipasi dan mengatasinya, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Ini antara lain:
- Jujur dan terbuka pada anak, adalah kunci relasi yang sehat. Kalau orang tua tidak jujur pada anak (suka menutupi kelemahan, main image, power and control, otoriter demi image dan hormat, membohongi anak, bisa bikin janji yang tidak ditepati, dsb) anak juga tidak percaya pada orang tuanya. Prinsipnya, kalau kita suka bohong, maka kita cenderung berpikir bahwa orang lain cenderung tidak jujur pada kita. Nah, jadi relasi yang terbentuk adalah relasi yang palsu, manis di luar tapi dingin di dalam. Anak akan cari ekspresi jujur di luar rumah, entah dengan geng nya, atau dengan teman-teman kelompok lain, yang membuat mereka bisa feel at home (terutama dengan diri sendiri).
- Rendah hati. bukan cuma anak yang harus belajar rendah hati, tapi orang tua juga perlu belajar dari anak untuk bisa rendah hati. Minta maaf kalau salah, bertanya kalau tidak tahu, minta diajari kalau ingin bisa pintar, dsb. Orang tua bukan superman yang bisa semua. Orang tua juga manusia yang pasti punya keterbatasan. Akui saja, supaya antara anak dan orang tua, ada rasa saling menghargai. Anak tidak merasa dikecilkan, tapi dihargai keberadaannya sebagai manusia.
- Menolong / mengajak bicara / melakukan pendekatan pada anak, terutama kalau mereka terlihat gusar atau menyimpan masalah tanpa bersikap mendesak atau mengancam supaya anak tahu there's a shoulder to cry on and there's someone to rely on.
- Mengajak / memberi kesempatan dan dorongan agar mereka terlibat dalam kegiatan positif sesuai kemampuan, keadaan, dan kecenderungannya, misalnya saja: olahraga, musik, perpustakaan, kajian, pengajian, kegiatan sosial, atau lainnya
- Meningkatkan kedekatan dengan guru di sekolah, terutama yang tahu banyak tentang dirinya, seperti wali kelas atau guru pembimbing tertentu.
- Mengajak berdialog untuk menyepakati aturan, disiplin, atau batasan tertentu. Buatlah secara fair (bisa dijalankan menurut akal sehat), dan jalankan secara konsisten dan fleksibel.
- Menambah pengetahuan dan informasi tentang siapa saja teman anak kita. Plus, mulai membangun keakraban dengan orangtua mereka untuk membicakan anaknya.
- Bersikap lebih terbuka dengan pergaulan anak, mengajak teman-teman anak datang ke rumah untuk kenal lebih dekat. Sikap judgmental dan melarang anak berteman secara keras hanya makin memperlebar jarak hubungan antara orang tua dengan anak
- Tetap menunjukkan sikap respek, bukan sikap menantang konflik atau kebencian
- Mendisiplinkan pengucuran dana atau pengawasannya dengan hukum logika. Setiap dana yang dikucurkan harus didukung oleh alasan dan maksud yang rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan. Ada uang, ada konsekuensi, ada tanggung jawab, ada laporan.. Dengan demikian, orang tua bisa bersikap obyektif, pada saat memberi uang pun pada saat tidak mau memberi uang. Anak tahu alasan logisnya. Jangan sampai, kita mau kelihatan galak dan ditakuti, tapi gampang dimanipulasi.
- Mencari informasi tentang geng anak kita. Informasi bisa didapat dari temannya yang belum terlibat, guru sekolah, tokoh gaul, kepolisian, atau internet.
- Meng-update informasi tentang di mana anak kita pada jam-jam kosong, misalnya habis pulang sekolah atau kuliah. Banyak orangtua yang dibohongi anak dan baru tahu setelah nasi menjadi bubur. Networking di sini diperlukan, untuk membuat jarring pengaman bagi anak. Caranya, mengenal teman-teman anak dan orang tua mereka masing-masing, tahu tempat2 pergi dan les serta kegiatan lain dan tahu nomer telpon penting.
- Membangun hubungan yang harmonis di dalam keluarga, misalnya membiasakan dialog untuk menyelesaikan konflik, saling memberi nasehat, dan lain-lain.
- Menjadikan rumah sebagai tempat untuk mengaktualisasikan-diri bagi para anggota keluarga untuk sama-sama menjadi orang yang selalu berubah ke arah yang lebih baik (learning together).
