Rabu, 07 Oktober 2009

Apakah Anak Anda Terlibat "GENG" ???
















Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 05/02/2008

Antara Unjuk Diri & Kebingungan

Beberapa waktu lalu, pemberitaan televisi di negeri kita sempat mengangkat perilaku meresahkan oleh sekelompok orang yang disebut geng motor. Secara konotasi,geng ini memang beda dengan klub, group atau kelompok.Geng lebih dikonotasikan negatif. Bahkan kalau melihat artinya dalam kamus bahasa Inggris, misalnya Webster's, geng (gang) di sana punya arti banyak dan salah satunya adalah negatif: a group of persons working to unlawful or antisocial ends.

Siapa saja yang rentan masuk ke dalam geng? Kalau melihat prakteknya, mereka yang masuk dalam geng adalah remaja dan pemuda. Remaja ini, jika menggunakan definisinya Erikson, adalah anak yang sudah mulai masuk umur 12 sampai 18 tahun. Erikson menemukan bahwa karakteristik perkembangan yang paling menonjol dari anak seusia ini adalah mencari identitas (identity searching) sekaligus kebingungan dengan identitasnya (identity confusion).

Alasan remaja nge- geng, adalah ingin menunjukkan siapa dirinya, ada pula yang ingin menyalurkan minat yang selaras dengan orientasi geng itu. Tentu ada yang positif dan ada yang negatif. Yang positif, jika geng itu sendiri punya orientasi kegiatan kreatif dan produktif, seperti mengembangkan hobi di bidang tertentu, maka virus kreatif itu bisa menghasilkan pertumbuhan yang sehat. Sedangkan yang negatif itu misalnya saja penolakan mereka terhadap berbagai aturan yang ditetapkan orangtua dan sesering mungkin ingin "menjauh" dari jangkauan kontrol orangtua. Selain itu, ada yang tidak ingin dicap "anak mama", ada juga yang ingin menutupi keminderannya sehingga ia bertindak begitu hebohnya bak jagoan.

Padahal, fakta sering menunjukkan kalau mereka sendiri masih tergantung sama orangtua. Kelemahan ini sering digunakan senjata oleh sebagian orangtua untuk bernegosiasi. "Giliran minta duit kamu ke ayah, tetapi setiap kali ayah ngasih nasehat, tak pernah kamu dengarkan. Jadi gimana sekarang? Kamu yang mengingkuti ayah atau ayah yang mengikuti kamu?"



Karena mereka masih bergantung secara full ini juga, banyak orangtua yang tidak melibatkan mereka dalam beberapa urusan keluarga yang penting, termasuk dalam urusan segenting perceraian. Di mata orangtua, mereka ini masih anak-anak. Sementara, mereka sendiri tidak ingin dianggap seperti itu. They want to be acknowledged. Di sinilah terkadang kebingungan muncul.

Kebingungan inipun ada yang tersalurkan untuk hal-hal positif dan ada yang untuk hal-hal negatif. Yang positif misalnya saja mereka ingin menjajal memasuki berbagai bidang untuk menunjukkan siapa dirinya kepada orangtuanya. Mereka masuk ke seni, olahraga, fashion, bahasa, agama, sosial, tes bakat, bikin band, indie art dan seterusnya dan seterusnya. Sedangkan yang negatif itu salah satunya adalah masuk ke geng non-produktif, entah itu geng motor, geng jalan anu, atau lain-lain. Pengarahan, pembiasaan, atau lingkungan, pada fase ini ikut berperan penting.

Sejauh manakah sebetulnya geng itu membahayakan anak-anak kita? Ini tergantung gengnya. Dan mungkin juga tidak semua geng berbahaya atau tidak mau disebut sebagai kelompok tempat orang-orang negatif. Seorang pemimpin geng motor yang diwawancarai di televisi tidak rela kelompoknya dianggap negatif. Mereka mendeklarasikan tujuan gengnya, aturan mainnya, atau organisasinya. Bahkan mereka punya foto-foto yang mengabadikan kegiatan bakti sosial yang pernah dilakukan.

Jadi bahaya atau tidak ?

Kalau bicara kemungkinan adanya bahaya, bahaya itu ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Yang langsung itu misalnya saja ketika geng itu terbentuk dengan tujuan untuk menampung perilaku yang melawan hukum, etika, atau norma. Karena di luar sana mereka tidak menemukan wadah, maka membentuklah geng sebagai wadah, misalnya geng pemabuk, geng jual beli obat terlarang, geng bermazhab pergaulan bebas, dan seterusnya. Biasanya, mereka bergerak di bawah tanah dan nama yang dipilihnya juga susah dipahami oleh awam.

Bahaya yang lain adalah bahaya tidak langsung. Ini bisa terjadi pada geng yang underground atau yang tidak. Misalnya saja kebut-kebutan di jalan raya atau tawuran karena membela gengsi dan wibawa geng-nya. Beberapa kasus tawuran pelajar terjadi karena masalah ini. Kalau kita tanya apakah ini diajarkan dalam gengnya, tentu saja jawabnya tidak. Hampir tidak ada geng yang mengajarkan seperti ini secara langsung, tetapi suasanaya itu lho yang kerap membawa anggotanya ke arah sana.

Bahaya yang jauh lebih serius, jika falsafah, nilai dan identitas geng tersebut dijadikan "milik", dengan kata lain, dijadikan way of life. Ini bisa terjadi jika identitas tempelan yang negative tersebut menjadi opsi kongkrit yang paling nyata dalam proses pencarian identitas. Dampaknya bisa kemana-mana, seperti distorsi pola pikir, distorsi nilai (yang salah dikatakan benar, yang benar dikatakan salah), distorsi kebutuhan (dari kebutuhan untuk mencari identitas menjadi kebutuhan untuk bertindak agresif, dsb), distorsi perilaku, dsb. Situasi ini tidak stop sampai di sini karena kalau suatu ketika geng nya bubar, anak / anggota geng akan kehilangan orientasi dan identitas. Tanpa identitas, maka seluruh kehidupan bagai berjalan di atas angin. Banyak yang jadi frustrasi karena kehilangan arah, dan makna hidup. Bayangkan, kalau masih muda dan harusnya bersemangat, tapi sudah kehilangan semangat hidup, apakah yang akan terjadi ? bisa depresi, apatis, fatalistic, pasif, dan makin dependent pada lingkungan

Kenali beberapa tandanya
Suatu hari, kawan saya yang dari Aceh dikirim Jakarta untuk mengikuti pelatihan tentang penanggulangan anak-anak yang terkena bencana. Karena sudah lama tidak jumpa, saya ajak dia mampir ke rumah. Di tengah jalan, kawan ini melihat beberapa remaja membawa gitar, berpakaian hitam-hitam, dengan aksesoris dari besi yang menempel di sekujur tubuhnya, rambutnya gondrong dan dandanannya menakutkan.

Sambil bercanda saya bertanya iseng, gimana kalau anakmu seperti itu, keren ndak? Apa jawabnya? "Saya nggak mau ngasih makan dia. Biarkan dia pergi. Kalau dia berubah, baru boleh pulang. Karena saya tidak ingin melihat itu, saya dan istri berkomitmen untuk menomersatukan pendidikan anak, bodo amat mau miskin atau kaya. Saya tetap mengajar anak di rumah, walaupun sudah saya sekolahkan"

Jika kita termasuk seperti kawan saya itu, mungkin ada baiknya membaca tanda-tanda apakah anak kita sudah terlibat ke dalam geng atau belum. Kalau membaca laporan Father Flanagan's Boys (1998), Beberapa tanda yang bisa kita kenali itu antara lain:

  1. Dia mulai berteman dengan salah seorang anggota geng tertentu dan makin lama makin akrab.

  2. Dia mulai terobsesi untuk memiliki pakaian dengan warna tertentu dan model tertentu yang merepresentasikan simbol geng tertentu.

  3. Dia menggunakan aksesoris dengan desain khusus untuk menciptakan image tertentu atau yang berkaitan dengan gengnya.

  4. Dia sudah terobsesi untuk mendengarkan musik, menonton film, atau menempel poster beberapa figur yang menjadi tokoh rujukan gengnya.

  5. Dia mulai kurang akrab dengan keluarga atau menunjukkan pemberontakan terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam keluarga. Mulai menunjukkan rasa tidak betah di rumah. Kalau keluarga punya acara di luar kota atau di luar rumah, dia menunjukkan tanda-tanda lebih senang ditinggal.

  6. Dia menunjukkan kebutuhan yang berlebihan untuk memiliki privasi di rumah, misalnya hapenya disimpan di tempat yang tidak diketahui orangtua, kamarnya dikunci di lantai atas, dan seterusnya.

  7. Dia mulai menggunakan bahasa--bahasa isyarat ketika berkomunikasi dengan temannya atau menggunakan istilah yang hanya bisa dipahami oleh limited people.

  8. Dia mulai suka minta uang yang di luar budget resmi dengan alasan-alasan yang didesain secanggih mungkin, misalnya untuk membayar ujian susulan, untuk membeli buku anu, dan lain-lain. Kalau ibunya kurang percaya, dia bisa minta bantuan ke temannya untuk membangkitkan trust sang ibu.

  9. Dia secara hati-hati menggunakan uang itu untuk membeli pakaian atau aksesoris tertentu. Kalau tidak disimpan di rumah temannya yang kost, pakaian itu biasanya disembunyikan di tempat yang bagus.

  10. Punya agenda di luar yang tidak jelas dan tidak mau / merasa keberatan diintai, dibuntuti, atau diketahui orang tua

Dari banyak kasus, anak-anak yang lari ke geng, terutama geng yang negatif itu, umumnya punya riwayat hubungan yang kurang harmonis dengan keluarga. Kurang harmonis di sini pengertiannya adalah: antara ada ketegangan (konflik) atau tidak adanya mutual-care (saling memperhatikan) sebagai bukti adanya ketidakdekatan emosional, spiritual, atau intelektual.


Beberapa pendekatan

Kalau kita iseng bertanya ke orang dewasa yang ada di sebelah kanan-kiri kita, mungkin hanya sedikit yang tidak pernah mbadung waktu masih muda. Yang berbeda adalah kadarnya dan tingkat bahaya yang ditimbulkannya. Begitu juga dengan anak kita saat ini. Satu sisi terkadang ada kewajaran kalau anak remaja atau pemuda itu harus "lain" atau ngetren sebagai konsekuensi dari eksplorasi-diri. Tetapi, pasti kita punya harapan agar jangan sampai anak kita itu terbawa arus geng terlalu jauh. Untuk mengantisipasi dan mengatasinya, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Ini antara lain:

  1. Jujur dan terbuka pada anak, adalah kunci relasi yang sehat. Kalau orang tua tidak jujur pada anak (suka menutupi kelemahan, main image, power and control, otoriter demi image dan hormat, membohongi anak, bisa bikin janji yang tidak ditepati, dsb) anak juga tidak percaya pada orang tuanya. Prinsipnya, kalau kita suka bohong, maka kita cenderung berpikir bahwa orang lain cenderung tidak jujur pada kita. Nah, jadi relasi yang terbentuk adalah relasi yang palsu, manis di luar tapi dingin di dalam. Anak akan cari ekspresi jujur di luar rumah, entah dengan geng nya, atau dengan teman-teman kelompok lain, yang membuat mereka bisa feel at home (terutama dengan diri sendiri).

  2. Rendah hati. bukan cuma anak yang harus belajar rendah hati, tapi orang tua juga perlu belajar dari anak untuk bisa rendah hati. Minta maaf kalau salah, bertanya kalau tidak tahu, minta diajari kalau ingin bisa pintar, dsb. Orang tua bukan superman yang bisa semua. Orang tua juga manusia yang pasti punya keterbatasan. Akui saja, supaya antara anak dan orang tua, ada rasa saling menghargai. Anak tidak merasa dikecilkan, tapi dihargai keberadaannya sebagai manusia.

  3. Menolong / mengajak bicara / melakukan pendekatan pada anak, terutama kalau mereka terlihat gusar atau menyimpan masalah tanpa bersikap mendesak atau mengancam supaya anak tahu there's a shoulder to cry on and there's someone to rely on.

  4. Mengajak / memberi kesempatan dan dorongan agar mereka terlibat dalam kegiatan positif sesuai kemampuan, keadaan, dan kecenderungannya, misalnya saja: olahraga, musik, perpustakaan, kajian, pengajian, kegiatan sosial, atau lainnya

  5. Meningkatkan kedekatan dengan guru di sekolah, terutama yang tahu banyak tentang dirinya, seperti wali kelas atau guru pembimbing tertentu.

  6. Mengajak berdialog untuk menyepakati aturan, disiplin, atau batasan tertentu. Buatlah secara fair (bisa dijalankan menurut akal sehat), dan jalankan secara konsisten dan fleksibel.

  7. Menambah pengetahuan dan informasi tentang siapa saja teman anak kita. Plus, mulai membangun keakraban dengan orangtua mereka untuk membicakan anaknya.

  8. Bersikap lebih terbuka dengan pergaulan anak, mengajak teman-teman anak datang ke rumah untuk kenal lebih dekat. Sikap judgmental dan melarang anak berteman secara keras hanya makin memperlebar jarak hubungan antara orang tua dengan anak

  9. Tetap menunjukkan sikap respek, bukan sikap menantang konflik atau kebencian

  10. Mendisiplinkan pengucuran dana atau pengawasannya dengan hukum logika. Setiap dana yang dikucurkan harus didukung oleh alasan dan maksud yang rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan. Ada uang, ada konsekuensi, ada tanggung jawab, ada laporan.. Dengan demikian, orang tua bisa bersikap obyektif, pada saat memberi uang pun pada saat tidak mau memberi uang. Anak tahu alasan logisnya. Jangan sampai, kita mau kelihatan galak dan ditakuti, tapi gampang dimanipulasi.

  11. Mencari informasi tentang geng anak kita. Informasi bisa didapat dari temannya yang belum terlibat, guru sekolah, tokoh gaul, kepolisian, atau internet.

  12. Meng-update informasi tentang di mana anak kita pada jam-jam kosong, misalnya habis pulang sekolah atau kuliah. Banyak orangtua yang dibohongi anak dan baru tahu setelah nasi menjadi bubur. Networking di sini diperlukan, untuk membuat jarring pengaman bagi anak. Caranya, mengenal teman-teman anak dan orang tua mereka masing-masing, tahu tempat2 pergi dan les serta kegiatan lain dan tahu nomer telpon penting.

  13. Membangun hubungan yang harmonis di dalam keluarga, misalnya membiasakan dialog untuk menyelesaikan konflik, saling memberi nasehat, dan lain-lain.

  14. Menjadikan rumah sebagai tempat untuk mengaktualisasikan-diri bagi para anggota keluarga untuk sama-sama menjadi orang yang selalu berubah ke arah yang lebih baik (learning together).
Dari pengalaman banyak orang, pendekatan home-based (dari dalam / seputar keluarga - seperti contohnya di nomer 14) biasanya menjadi senjata antisipasi yang diakui paling ampuh untuk mendukung anak agar tidak terlibat jauh ke dalam arus geng negatif. Cara-cara yang bisa kita lakukan cukup banyak, dari mulai yang gratisan (biaya rendah) sampai yang mahal. Misalnya saja menjadi member perpustakaan, menyemarakkan kegiatan positif di rumah, mengundang tokoh tertentu, mengajarkan sesuatu, membicarakan hal-hal positif, menceritakan riwayat hidup yang sesuai dengan nilai-nilai, dan lain-lain dan seterusnya.

Intinya, untuk meningkatkan fungsi rumah itu tidak usah menunggu kaya atau menunggu kalau sudah bebas dari hutang. Yang dibutuhkan di sini adalah inisiatif dan komitmen. Apakah ini semua bisa menjamin? Tentu tidak ada yang bisa menjamin masa depan anak. Satu-satunya jaminan adalah: anak kita akan terjamin menjadi orang baik kalau kita dan dia sama-sama punya agenda untuk terus berusaha berubah menjadi orang yang lebih baik, selalu.